Modus Yayasan Bunda Pontianak: Tahan Ijazah, Paksa Cari Pengganti, Peras Mantan Art kami Disuruh Bayar Rp 5 Juta Kalau Mau Ijazah Anak Kami Kembali!
- account_circle admin
- calendar_month Kam, 19 Jun 2025
- visibility 719
- comment 0 komentar

Indo-Sight.com|PONTIANAK – Sabtu, 18 Juni 2025 | Skandal memalukan mencuat dari balik nama lembaga penyalur tenaga kerja yang selama ini mengklaim menyediakan jasa kemanusiaan. Yayasan Bunda, yang beroperasi di Jl. Dr. Sutomo No. 55E, Kecamatan Pontianak Kota, diduga telah melanggar hukum secara terang-terangan dengan menahan ijazah asli milik Nanda Kumala Sari (18), mantan Asisten Rumah Tangga (ART) yang sebelumnya ditempatkan melalui yayasan tersebut.
Ironisnya, yayasan yang berdiri di bawah CV Humanindo Resources ini justru menggunakan ijazah tersebut sebagai alat tekan dan pemerasan, meminta ganti rugi lebih dari Rp 5 juta, atau memaksa keluarga korban untuk mencarikan pengganti tenaga kerja baru—semacam barter manusia.
Nanda bekerja selama tiga bulan di rumah salah satu klien yayasan. Namun, setelah keluar karena alasan pribadi dan kelelahan mental, ia meminta kembali ijazah SMA-nya yang dititipkan saat awal perekrutan. Alih-alih dikembalikan, pihak Yayasan Bunda justru menyampaikan bahwa Nanda harus membayar “finalti kontrak” sebesar Rp5.000.000 lebih, atau mencarikan sendiri orang baru sebagai pengganti dirinya.
“Kalau tidak bisa bayar atau cari orang pengganti, ya ijazah kami tahan. Bawa saja ke polisi atau wartawan kalau tidak terima!”
—begitulah ancaman yang dilontarkan oleh oknum yayasan, menurut kesaksian keluarga Nanda.
Praktik ini bukan saja memalukan, tapi juga melanggar undang-undang, bahkan menjurus pada tindak pidana yang semestinya diproses secara hukum.
Yang lebih mencengangkan, Nanda dipaksa menandatangani surat pernyataan bermaterai yang menyatakan dirinya bersedia mencarikan pengganti ART. Surat ini bukan hanya cacat hukum, tapi juga menjadi bentuk nyata dari intimidasi, pemaksaan kehendak, dan penghilangan kebebasan sipil individu.
Tindakan ini telah menciptakan tekanan psikologis luar biasa kepada Nanda dan keluarganya. Ayah Nanda mengaku sempat mencoba menyelesaikan secara baik-baik, namun justru dipermalukan.
“Kami datang baik-baik, mereka malah sombong dan menantang kami untuk lapor polisi. Katanya, mereka sudah sering menyerap tenaga kerja dan didukung pemerintah. Ini bukan yayasan kemanusiaan, tapi praktik perbudakan gaya baru,”ujar ayah Nanda dengan mata berkaca-kaca.
Jika ditelusuri lebih dalam, modus seperti ini bukan hal baru. Di berbagai daerah, praktik penahanan dokumen asli, pemaksaan ganti rugi sepihak, dan kewajiban mencarikan pengganti telah menjadi strategi licik sejumlah yayasan abal-abal untuk memeras kaum miskin dan tak berdaya.
Namun yang membuat miris, Yayasan Bunda berani melakukan ini di kota besar seperti Pontianak, dengan terang-terangan menantang keluarga korban untuk menempuh jalur hukum, seolah hukum dan keadilan bisa dibeli atau dikesampingkan.
Apakah ini bagian dari jaringan oknum tertentu yang mendapat perlindungan “tak kasat mata”? Mengapa praktik ini bisa berlangsung tanpa pengawasan ketat?
Praktik Yayasan Bunda secara nyata telah melanggar sejumlah aturan penting:
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama Pasal 90 tentang larangan pemotongan gaji dan denda sepihak.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, karena menahan dokumen penting (ijazah) termasuk pelanggaran hak milik dan hak atas pendidikan.
KUHP Pasal 368 tentang pemerasan dan Pasal 333 tentang perampasan kemerdekaan seseorang.
- Penulis: admin





Saat ini belum ada komentar